Thursday, October 27, 2005
Jawa Pos, Selasa, 25 Oktober 2005
Koran Tujuh Kolom Lebih Diminati
SURABAYA- Bagaimanakah desain koran masa depan? Mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) UK Petra mencoba menyajikannya dalam Pameran Desain Lay Out Surat Kabar Terbaik. Sebanyak 37 karya digelar pada pemeran yang digelar di Gedung P UK Petra hingga 27 Oktober itu.Sejatinya, pameran itu adalah salah satu tugas yang harus dikerjakan mahasiswa semester V. "Mereka memang sudah dikenalkan pada desain media," kata Ketua Panitia Obed Bima Wicandra.
Menurut Obed, para mahasiswa itu diberi kebebasan penuh untuk menentukan layout "koran" mereka. "Terserah, mau 9 kolom atau 7 kolom," katanya. Selain itu, para mahasiswa itu juga bebas memilih akan membuat koran komunitas, koran olahraga, atau harian murni. Setiap peserta hanya diharuskan untuk membuat dua halaman koran. Yang pertama sebagai halaman utama dan halaman berikutnya sebagai halaman rubrik.Ternyata, hampir seluruh mahasiswa itu membuat format koran 7 kolom (young broadsheet). Ini memang sesuai dengan tren koran di negeri ini yang sudah mulai meninggalkan format 9 kolom (broadsheet). Dengan format kecil ini, para mahasiswa terlihat mampu membuat sajian koran yang atraktif.
Foto dan gambar yang berformat ekstrim mereka pampang di koran. Gambar-gambar vertikal nan atraktif menjadi unsur dominan pada karya mahasiswa itu. Meski tak menjadi sebuah "pakem" yang baku, format gambar vertikal memang cukup pas untuk mengisi ruang koran mereka.Selain bermain-main pada wajah koran, beberapa mahasiswa juga tampak berusaha mengemas isi koran seunik mungkin. Salah satunya Debrina L. yang menyajikan koran Woro Wiri. Masih menggunakan fotmat young broadsheet, Debrina memilih untuk menyajikan berita dalam dialek lisan warga Tionghoa yang biasa dipakai di Surabaya.Tak heran, judul-judul beritanya pun cukup menggelitik. Misalnya, berita tentang flu burung yang diberi judul Cegah Manuk Pilek Mlebu Kota. Berita-berita yang dipajang Debrina pada korannya adalah hasil terjemahan dari Jawa Pos.
Nantinya, koran terbaik akan meraih penghargaan Adikarya Ciptawara. "Ini adalah penghargaan pertama yang diberikan untuk desain koran terbaik," kata Obed.(dos)
Saturday, October 08, 2005
MEDIA LUAR RUANG
Beberapa acuan buku memasukkan poster, spanduk dan transit ad (misalnya iklan di bis/panel bis) di samping papan reklame sebagai bagian dari media luar ruang. Dalam bukunya Rhenald Kasali (Manajemen Periklanan, 1993: 133) menekankan media luar ruang adalah papan reklame.
Umumnya media luar ruang yang ditata dengan baik memberikan keuntungan ganda bagi pemda setempat. Iklan luar ruang disamping memeprcantik kota juga sumber pendapatan bagi pemerintah daerah setempat. Karena itu pegurusan media ini harus mengantongi perijinan dari dinas-dinas kota yang bersangkutan. Instansi tersebut antara lain:
- Dinas Tata Kota
- Dinas pengawasan dan pembangunan kota
- Dinas Pertamanan
- Dinas Pekerjaan Umum
- Dinas Kebersihan
- Dinas Pendapatan Daerah
- Biro Ketertiban Umum
Syarat pemasangan media ini juga mencantumkan standar ukuran reklame, tingginya dari permukaan tanah atau dari atas atap gedung bertingkat, pemakaian stempel khusus dan tidak memasang di tempat-tempat seperti jalan protocol, di sekitar pusat keramaian dan lokasi peribadatan dan sekolah. Namun seiring berjalannya waktu, rupanya yang dipaparkan Rhenald Kasali di bukunya ini justru media luar ruang membidik lokasi-lokasi yang justru dulu dilarang.
Pendirian media luar ruang juga dipengaruhi oleh sosio-kultur masyarakat setempat, di beberapa daerah seperti di Jogjakarta dan Bali, media ini mempunyai peraturan yang sangat ketat. Khususnya di Bali, tinggi papan reklame benar-benar harus diperhatikan sesuai adapt maupun kepercayaan setempat. Sedangkan di Jogjakarta, papan reklame sempat diharuskan tidak boleh dekat dengan Kraton Jogja apalagi sampai tingginya menutupi Kraton, namun (lagi-lagi) berjalan seiringnya waktu, aturan inipun agak diperlunak oleh pihak Pemda DI Jogjakarta.
Papan Reklame
Berarti poster dalam ukuran besar dan didesain untuk dilihat oleh orang yang melakukan perjalanan dengan tingkat mobilitas cukup tinggi. Papan reklame atau billboard mempunyai jenis-jenis yang biasa dipakai dalam kampanye periklanan, yaitu:
1. Poster Panels.
Lembaran kertas besar yang dicetak sesuai dengan keinginan pemesan. Dicetak dalam jumlah yang banyak untuk menghemat biaya kemudian ditempelkan pada panel besar yang dilengkapi kerangka dan bantuan cahaya lampu. Lembaran kertas ini tahan dengan perubahan cuaca dan gangguan cuaca, misalnya hujan. Jenis ini sekarang popular dengan bantuan digital printing.
2. Painted Bulletins
Langsung didesain dan digambar oleh artist dari agency di atas panel yang telah disediakan. Bisa juga dikerjakan terlebih dahulu di studio kemudian dipindahkan ke panel tersebut. Butuh kejelian mata seorang seniman lukis untuk menimbulkan detail sehingga benar-benar artistic. Jenis ini masih tetap bertahan di bioskop-bioskop untuk mempromosikan film yang sedang diputar.
Efek-efek dalam iklan luar ruang
1. Tata Cahaya
Dibutuhkan pencahayaan yang cukup atraktif untuk menimbulkan minat orang memperhatikan pesan dalam media ini.
2. Lampu latar
Beberapa pengiklan melakukan eksperimen dengan holografi yang dapat memproyeksikan efek tiga dimensi dari suatu panel atau pada panel yang lain.
3. Bentuk
Perlu eksperimen untuk memecahkan keterikatan pada sudut-sudut segi empat yang membuat penampilan media ini menjadi kaku. Dewasa ini ada yang menggunakan efek tiga dimensi dan beberapa teknik yang lain, misalnya cutting, dsb.
4. Inflatables
Menggunakan benda-benda yang digantungkan dan ditampilkan pada papan reklame sehingga efek tiga dimensi lebih terasa.
5. Gerakan
Panel-panel yang bergerak disebut kinetic board, digunakan untuk menyajikan pesan-pesan yang berbeda-beda. Satu panel yang terdiri dari dua atau tiga sisi dapat digunakan untuk menyampaikan pesan yang berubah-ubah sesuai dengan bergesernya khalayak sasaran yang lalu lalang di jalan raya.
Menentukan Lokasi Papan Reklame
1. Arus perjalanan
Harus jeli apakah akan dipasang di kiri atau kanan jalan. Perlu diperhatikan pula berada pada arus pulang atau arus berangkat kerja atau sekolah/kuliah.
2. Jenis Produk
Asumsinya arus berangkat adalah pada pagi hari sedangkan arus pulang adalah pada sore atau malam hari, maka iklan shampoo yang dipasang pada kiri jalan (arus berangkat kerja) dapat mengganggu karena pihak konsumen sedang tidak akan mengalami kegiatan rutinitas membersihkan badan.
3. Jangkauan
Media ini mempunyai daya jangkau yang bersifat sangat local, yakni hanya daerah di sekitar papan reklame itu sja. Karenaya, sangat penting memilih lokasi yang memiliki sudut pandang yang luas, mislanya pada ketinggian tertentu yang bebas dari halangan pandangan.
4. Kecepatan arus lalu lintas
Jika media ini dipasang di jalur bebas hambatan, maka papan reklame tersebut harus didesain sedemikian rupa agar dari kejauhan sudah terbaca dan dikenali pesannya. Pada jalur ini iklan luar ruang mempunyai efektifitas terbaca dalam tempo kurang dari tujuh detik. Jika ingin menampilkan detail maka lebih baik memilih jalur lalu lintas yang padat dan pada ketinggian menengah. Jalur padat ini misalnya pada lokasi sekitar pusat perbelanjaan, persimpangan jalan, jalan tiga jalur yang ada sekolah dengan sedikit tempat parkir atau juga jalan ‘leher botol’ yang ujungnya menyempit. Pada arus yang padat, orang dapat membaca dengan santai pada titik pandang yang dekat. Ketinggian juga diperhatikan jangan sampai orang membaca dengan kepala terlalu mendongak.
5. Persepsi terhadap lokasi
Papan reklame juga bertujuan untuk membangun citra. Jangan sampai salah menempatkan produk dengan citra yang bonafit, anggun, besar dan modern di suatu tempat yang tidak pada tempatnya dan tidak sesuai sasaran.
6. Keserasian dengan bangunan sekitarnya
Tanpa memperhatikan keserasian, papan reklame akan menjadi sampah kota yang semakin menyebabkan calon pembeli sesak napas. Papan reklame yang baik harus memperhatikan keseimbangan lingkungan yang justru dapat mempercantik kota. Iklan luar ruang harus memperhatikan 7K, yaitu: keindahan, kesopanan, ketertiban, keamanan, kesusilaan, keagamaan dan kesehatan.
Efektifitas Media Luar Ruang
1. Jangkauan
Kemampuan media menjangkau khalayak sasaran. Pada media luar ruang, factor ini bersifat local, artinya hanya mampu menjangkau daerah di sekitarnya saja. Hal ini terjadi karena dalam hal bepergian, ternayata manusia sering hanya menggunakan satu jalan dan tidak pernah berganti rute kecuali jika ada gangguan.
2. Frekuensi
Kemampuan media mengulang pesan iklan yang sama terhadap khalayak sasaran saat mulai dilupakan.
3. Kontinuitas
Kesinambungan media menyampaikan pesan iklan sesuai dengan tuntutan strategi periklanan.
4. Ukuran
Kemampuan media memberikan ukuran yang dituntut oleh pesan iklannya. Memiliki kemampuan tampil dengan mencolok dan tiba-tiba.
5. Warna
Kemampuan media menyajikan tata warna yang dituntut oleh suasana yang dikehendaki pada saat pesan iklan disampaikan.
6. Pengaruh
Kekuatan pesan iklan yang kreatif dengan tata letak yang fungsional dalam hal menjual dirinya kepada khalayak sasaran. Pesan harus singkat dan ditampilkan secara jelas. Harus dapat dibaca setidaknya dalam tujuh detik. Menggunakan huruf yang mudah terbaca dari jarak relative jauh. Menggunakan warna yang tepat sebagai pembantu.
Beberapa kendala sebagai kelemahan:
1. Papan reklame efektif bagi pengendara sepeda motor.
2. Papan reklame efektif bagi mereka yang duduk di jok depan kendaraan roda empat.
3. Papan reklame menjadi sangat efektif di negara maju, karena semakin banyak orang yang mengemudikan sendiri kendaraannya.
4. Di Indonesia, sopir terekspose oleh papan reklame sedangkan si boss asyik baca Koran.
5. Bis dan kendaraan umum lainnya tidak memberikan ruang pandang yang cukup bagi penumpangnya.
sumber: Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, 1993, Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, Cetakan Ketiga.
Wednesday, October 05, 2005
INOVASI MEDIA RUANG LUAR DALAM URBAN DESAIN
Oleh: Mohammad Danisworo (Laboratorium Pusat Studi Urban Desain, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Bandung)
PETER Drucker (1992) menyatakan pada awal tahun 1990-an bahwa basis utama faktor produksi pada tatanan Ekonomi Lama yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal akan diambil alih oleh faktor baru yaitu informasi, pengetahuan, dan teknologi.
Pada saat ini, proses transformasi sedang berlangsung dengan pasti dari tatanan Ekonomi Lama ke tatanan Ekonomi Baru, dari penekanan pada kegiatan memproses sumber daya produksi yang bersifat fisik kepada penekanan kegiatan memproses sumber daya yang berbasis pada informasi dan pengetahuan.Dalam kondisi pasar yang semakin hiperkompetitif, persaingan pasar berlangsung dengan memanfaatkan pengetahuan, informasi, dan teknologi sebagai basis operasi. Oleh karena itu, kelangsungan dari keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu usaha akan sangat tergantung kepada kapasitas inovatif yang dimiliki usaha tersebut.
Peluang yang diberikan oleh tatanan Ekonomi Baru ini telah dimanfaatkan para pelaku bisnis yang secara jeli melihat potensi ruang kota sebagai media logis untuk menyampaiakan pesan-pesannya kepada masyarakat luas. Mereka juga melihat dengan memadukan secara sistematis serta inovatif materi informasi yang ingin disampaikan ke dalam lanskap kota, mereka akan dapat secara mudah menjaring jumlah peminat yang cukup besar atas produk-produk yang mereka peragakan dengan harapan pada akhirnya di antara para peminat tersebut, dalam jumlah cukup signifikan, akan mengambil keputusan untuk membeli.Ruang kota dan maknanya ruang kota memang dapat dikiaskan sebagai sebuah buku atau majalah berukuran raksasa, di mana segmen-segmen ruang kota dapat disamakan dengan lembar-lembar halaman.
Setiap segmen kota yang kita lalui menyuguhkan informasi kepada kita dan setelah melalui beberapa bagian ruang kota, maka kita mendapatkan serentetan informasi yang berbeda-beda, ada yang menarik dan ada yang membosankan.Berbeda dari buku atau majalah di mana untuk membaca isinya kita harus membuka halaman demi halamannya, maka pada ruang kota halaman-halaman itu terbuka dengan sendirinya bagi kita dan menyodorkan isinya langsung ke hadapan kita pada saat kita melaluinya. Pada akhir perjalanan, maka kita mendapatkan banyak pelajaran dan pengetahuan tentang isi ruang kota.Dengan pengertian tentang potensi yang dimiliki ruang kota ini, maka tidaklah mengherankan bila komunitas media, yaitu perusahaan media, agen periklanan dan produsen, berangsur-angsur menjadi semakin sensitif terhadap kapasitas yang dimiliki oleh ruang kota.
Mereka berlomba dengan berbagai cara untuk mendapatkan lokasi strategis di dalam kota bagi penempatan titik-titik media ruang luarnya. Iklan memang merupakan alat yang tangguh bagi penyebaran informasi untuk kepentingan pemasaran. Alat ini akan menjadi semakin kuat pengaruhnya apabila ditempatkan pada sudut-sudut kota yang dapat memberi kesempatan kepada publik untuk mendapatkan akses visual yang baik ke arah sumber informasi tersebut.Bisnis media ruang luar memang cukup menggiurkan karena melibatkan anggaran biaya sangat besar. Dampaknya mudah diduga yaitu tumpang-tindihnya titik-titik reklame di areal strategis tetapi sempit, atau bertebarannya papan reklame secara acak dengan ukuran beragam dan cenderung semakin besar sepanjang jalan utama kota. Kenyataan ini semakin menjadi jelas pada kota-kota yang tidak memiliki instrumen yang mengatur penataan titik reklame serta penyebarannya di dalam ruang kota.
Keberadaan papan-papan reklame tanpa penataan yang konseptual memang merupakan bumerang bagi kualitas visual kota. Di satu sisi, kehadirannya memberi akses kepada informasi bagi masyarakat luas kota serta memberi kontribusi positif bagi pendapatan asli daerah, namun pada sisi lain keberadaannya di ruang kota sering cenderung menghalangi pandangan ke arah elemen-elemen kota yang justru menarik dinikmati seperti arsitektur bangunan, unsur lanskap kota, dan sebagainya. Akibat hal tersebut adalah merosotnya kualitas visual kota karena ruang kota dilanda polusi papan reklame yang berlebihan.
Perlu diketahui, salah satu aspek penting yang menentukan kualitas desain urban adalah kualitas visualnya. Artinya, kota itu harus memiliki keindahan, baik yang bersifat alami maupun buatan, memiliki jati diri yang kuat, informatif dan tidak membingungkan. Kualitas visual ini dibentuk oleh komposisi urban desain dari elemen-elemen ruang kota seperti arsitektur bangunan serta konservasi bangunan tuanya, estetika taman kota dan arsitektur lanskapnya, geometri jalur jalannya, serta unsur infrastruktur pendukungnya seperti jembatan penyeberangan orang dan jembatan layang.
Elemen-elemen desain urban ini merupakan materi informasi yang terkandung di dalam lembar-lembar buku raksasa kota yang bercerita tentang ruang dan waktu. Alangkah menyedihkan apabila cerita indah tentang kota itu dikacaukan oleh kehadiran elemen media ruang luar yang berantakan, tidak saja bidang bidang luas reklame tersebut menghalangi pandangan ke arah elemen kota yang bagus, tetapi kaki-kakinya juga merebut ruang publik dan mendesak pejalan kaki ke badan jalan untuk bersaing ruang dengan kendaraan bermotor. Sungguh merupakan sebuah story book (buku cerita) yang menyedihkan.
Memang tidak semua sisi dari aspek visual kota itu menarik dilihat, bahkan barangkali lebih banyak lagi yang tidak sedap dipandang sehingga merupakan ganjalan di dalam mata.Banyak dari sisi bangunan gedung yang lebih berwujud sebagai dinding mati dan memiliki kinerja visual yang buruk untuk dipandang, akan tetapi justru menempati sudut pandangan strategis dalam ruang kota.Di Jakarta banyak terdapat kerangka-kerangka gedung yang terlantar akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang tidak menentu nasibnya kapan akan diselesaikan pembangunannya. Hampir semua menempati lokasi-lokasi prima dan strategis di ruang kota, namun ungkapan yang dapat ditarik dari kehadiran elemen kota yang tidak selesai tersebut adalah cerita sedih dari luka ekonomi bangsa yang dalam.
Namun, haruskah kita terus bersedih. Bisakah kita mengubah masalah visual ini menjadi suatu potensi untuk menjadikan wajah kota menjadi lebih bergairah dan ceria. Ini adalah tantangan bagi para pakar desain urban, pemerintah kota, dan pelaku bisnis media ruang luar untuk menemu kenali potensi yang dikandung oleh elemen "ganjalan mata" ini.Teknologi selubung pembungkusKenyataan yang mirip juga dialami kota-kota besar lain di dunia. Era Ekonomi Baru yang berbasis pada sistem informasi dan pengetahuan telah mendorong pencarian serta penciptaan berbagai bentuk medium yang bisa dipakai sebagai basis penyebaran informasi.
Dengan dibantu pakar komunikasi visual, pelaku bisnis media ruang luar mulai melihat sisi buruk dan tidak produktif dari wajah kota dapat disulap menjadi komponen yang produktif dengan cara menyulamkan pesan komersial sebagai bagian integral dari elemen kota yang sudah ada.Mengingat besarnya elemen bangunan, maka ukuran bidang informasi yang disuguhkan pun harus berukuran super besar sehingga pengaruh yang dihasilkannya juga berdampak besar.Wacana ini juga telah menggugah kreativitas para artis grafis untuk menjadikan poster raksasa sebagai karya seni dan budaya yang sekaligus menjadikan ruang kota sebagai galeri seni raksasa.
Penemuan teknologi cetak untuk large images (gambar besar) dengan kualitas yang menghasilkan kesan gambar yang hidup serta hasil pengembangan teknologi wrapping (selubung pembungkus) untuk bidang super besar dan luas telah menjadikan wacana tadi suatu kenyataan.Kelebihan cara penyajian informasi ini dibanding dengan sistem billboard yang konvensional adalah bahwa meskipun gambar yang disajikan berukuran raksasa, namun kehadirannya tidak menghalangi pandangan ke elemen-elemen ruang kota yang ada karena ia merupakan bagian integral dari elemen-elemen kota yag sudah ada yaitu gedung-gedung itu sendiri.
Selain itu, keberadaannya juga tidak mengusik trotoar yang ada yang menyebabkan pejalan kaki harus tersingkir ke jalur mobil. Tata informasi ini bila diterapkan secara inovatif bahkan dapat memperkaya khazanah urban desain kota.Aplikasi nyata teknologi wraping telah dilakukan di beberapa kota dunia, antara lain di New York City, Munich, dan Sydney. Di kota New York teknologi ini disesuaikan dengan kondisi bidang bangunan yang ditutup di mana tampak antara lain dari jendela-jendela bangunan yang masih dapat berfungsi seperti adanya. Begitu juga di kota Munich, Jerman, wrapping secara penuh dilakukan pada kerangka bangunan. Sedang di Jalan Thamrin, Jakarta, teknologi wrapping belum mendapat perhatian sewajarnya, terlihat antara lain pada wacana yang memanfaatkan kerangka struktur bangunan Westin Hotel dan sosok gedung Chandra yang terlihat terlantar.***
sumber: http://bergerilya.blogspot.com
PETER Drucker (1992) menyatakan pada awal tahun 1990-an bahwa basis utama faktor produksi pada tatanan Ekonomi Lama yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal akan diambil alih oleh faktor baru yaitu informasi, pengetahuan, dan teknologi.
Pada saat ini, proses transformasi sedang berlangsung dengan pasti dari tatanan Ekonomi Lama ke tatanan Ekonomi Baru, dari penekanan pada kegiatan memproses sumber daya produksi yang bersifat fisik kepada penekanan kegiatan memproses sumber daya yang berbasis pada informasi dan pengetahuan.Dalam kondisi pasar yang semakin hiperkompetitif, persaingan pasar berlangsung dengan memanfaatkan pengetahuan, informasi, dan teknologi sebagai basis operasi. Oleh karena itu, kelangsungan dari keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu usaha akan sangat tergantung kepada kapasitas inovatif yang dimiliki usaha tersebut.
Peluang yang diberikan oleh tatanan Ekonomi Baru ini telah dimanfaatkan para pelaku bisnis yang secara jeli melihat potensi ruang kota sebagai media logis untuk menyampaiakan pesan-pesannya kepada masyarakat luas. Mereka juga melihat dengan memadukan secara sistematis serta inovatif materi informasi yang ingin disampaikan ke dalam lanskap kota, mereka akan dapat secara mudah menjaring jumlah peminat yang cukup besar atas produk-produk yang mereka peragakan dengan harapan pada akhirnya di antara para peminat tersebut, dalam jumlah cukup signifikan, akan mengambil keputusan untuk membeli.Ruang kota dan maknanya ruang kota memang dapat dikiaskan sebagai sebuah buku atau majalah berukuran raksasa, di mana segmen-segmen ruang kota dapat disamakan dengan lembar-lembar halaman.
Setiap segmen kota yang kita lalui menyuguhkan informasi kepada kita dan setelah melalui beberapa bagian ruang kota, maka kita mendapatkan serentetan informasi yang berbeda-beda, ada yang menarik dan ada yang membosankan.Berbeda dari buku atau majalah di mana untuk membaca isinya kita harus membuka halaman demi halamannya, maka pada ruang kota halaman-halaman itu terbuka dengan sendirinya bagi kita dan menyodorkan isinya langsung ke hadapan kita pada saat kita melaluinya. Pada akhir perjalanan, maka kita mendapatkan banyak pelajaran dan pengetahuan tentang isi ruang kota.Dengan pengertian tentang potensi yang dimiliki ruang kota ini, maka tidaklah mengherankan bila komunitas media, yaitu perusahaan media, agen periklanan dan produsen, berangsur-angsur menjadi semakin sensitif terhadap kapasitas yang dimiliki oleh ruang kota.
Mereka berlomba dengan berbagai cara untuk mendapatkan lokasi strategis di dalam kota bagi penempatan titik-titik media ruang luarnya. Iklan memang merupakan alat yang tangguh bagi penyebaran informasi untuk kepentingan pemasaran. Alat ini akan menjadi semakin kuat pengaruhnya apabila ditempatkan pada sudut-sudut kota yang dapat memberi kesempatan kepada publik untuk mendapatkan akses visual yang baik ke arah sumber informasi tersebut.Bisnis media ruang luar memang cukup menggiurkan karena melibatkan anggaran biaya sangat besar. Dampaknya mudah diduga yaitu tumpang-tindihnya titik-titik reklame di areal strategis tetapi sempit, atau bertebarannya papan reklame secara acak dengan ukuran beragam dan cenderung semakin besar sepanjang jalan utama kota. Kenyataan ini semakin menjadi jelas pada kota-kota yang tidak memiliki instrumen yang mengatur penataan titik reklame serta penyebarannya di dalam ruang kota.
Keberadaan papan-papan reklame tanpa penataan yang konseptual memang merupakan bumerang bagi kualitas visual kota. Di satu sisi, kehadirannya memberi akses kepada informasi bagi masyarakat luas kota serta memberi kontribusi positif bagi pendapatan asli daerah, namun pada sisi lain keberadaannya di ruang kota sering cenderung menghalangi pandangan ke arah elemen-elemen kota yang justru menarik dinikmati seperti arsitektur bangunan, unsur lanskap kota, dan sebagainya. Akibat hal tersebut adalah merosotnya kualitas visual kota karena ruang kota dilanda polusi papan reklame yang berlebihan.
Perlu diketahui, salah satu aspek penting yang menentukan kualitas desain urban adalah kualitas visualnya. Artinya, kota itu harus memiliki keindahan, baik yang bersifat alami maupun buatan, memiliki jati diri yang kuat, informatif dan tidak membingungkan. Kualitas visual ini dibentuk oleh komposisi urban desain dari elemen-elemen ruang kota seperti arsitektur bangunan serta konservasi bangunan tuanya, estetika taman kota dan arsitektur lanskapnya, geometri jalur jalannya, serta unsur infrastruktur pendukungnya seperti jembatan penyeberangan orang dan jembatan layang.
Elemen-elemen desain urban ini merupakan materi informasi yang terkandung di dalam lembar-lembar buku raksasa kota yang bercerita tentang ruang dan waktu. Alangkah menyedihkan apabila cerita indah tentang kota itu dikacaukan oleh kehadiran elemen media ruang luar yang berantakan, tidak saja bidang bidang luas reklame tersebut menghalangi pandangan ke arah elemen kota yang bagus, tetapi kaki-kakinya juga merebut ruang publik dan mendesak pejalan kaki ke badan jalan untuk bersaing ruang dengan kendaraan bermotor. Sungguh merupakan sebuah story book (buku cerita) yang menyedihkan.
Memang tidak semua sisi dari aspek visual kota itu menarik dilihat, bahkan barangkali lebih banyak lagi yang tidak sedap dipandang sehingga merupakan ganjalan di dalam mata.Banyak dari sisi bangunan gedung yang lebih berwujud sebagai dinding mati dan memiliki kinerja visual yang buruk untuk dipandang, akan tetapi justru menempati sudut pandangan strategis dalam ruang kota.Di Jakarta banyak terdapat kerangka-kerangka gedung yang terlantar akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang tidak menentu nasibnya kapan akan diselesaikan pembangunannya. Hampir semua menempati lokasi-lokasi prima dan strategis di ruang kota, namun ungkapan yang dapat ditarik dari kehadiran elemen kota yang tidak selesai tersebut adalah cerita sedih dari luka ekonomi bangsa yang dalam.
Namun, haruskah kita terus bersedih. Bisakah kita mengubah masalah visual ini menjadi suatu potensi untuk menjadikan wajah kota menjadi lebih bergairah dan ceria. Ini adalah tantangan bagi para pakar desain urban, pemerintah kota, dan pelaku bisnis media ruang luar untuk menemu kenali potensi yang dikandung oleh elemen "ganjalan mata" ini.Teknologi selubung pembungkusKenyataan yang mirip juga dialami kota-kota besar lain di dunia. Era Ekonomi Baru yang berbasis pada sistem informasi dan pengetahuan telah mendorong pencarian serta penciptaan berbagai bentuk medium yang bisa dipakai sebagai basis penyebaran informasi.
Dengan dibantu pakar komunikasi visual, pelaku bisnis media ruang luar mulai melihat sisi buruk dan tidak produktif dari wajah kota dapat disulap menjadi komponen yang produktif dengan cara menyulamkan pesan komersial sebagai bagian integral dari elemen kota yang sudah ada.Mengingat besarnya elemen bangunan, maka ukuran bidang informasi yang disuguhkan pun harus berukuran super besar sehingga pengaruh yang dihasilkannya juga berdampak besar.Wacana ini juga telah menggugah kreativitas para artis grafis untuk menjadikan poster raksasa sebagai karya seni dan budaya yang sekaligus menjadikan ruang kota sebagai galeri seni raksasa.
Penemuan teknologi cetak untuk large images (gambar besar) dengan kualitas yang menghasilkan kesan gambar yang hidup serta hasil pengembangan teknologi wrapping (selubung pembungkus) untuk bidang super besar dan luas telah menjadikan wacana tadi suatu kenyataan.Kelebihan cara penyajian informasi ini dibanding dengan sistem billboard yang konvensional adalah bahwa meskipun gambar yang disajikan berukuran raksasa, namun kehadirannya tidak menghalangi pandangan ke elemen-elemen ruang kota yang ada karena ia merupakan bagian integral dari elemen-elemen kota yag sudah ada yaitu gedung-gedung itu sendiri.
Selain itu, keberadaannya juga tidak mengusik trotoar yang ada yang menyebabkan pejalan kaki harus tersingkir ke jalur mobil. Tata informasi ini bila diterapkan secara inovatif bahkan dapat memperkaya khazanah urban desain kota.Aplikasi nyata teknologi wraping telah dilakukan di beberapa kota dunia, antara lain di New York City, Munich, dan Sydney. Di kota New York teknologi ini disesuaikan dengan kondisi bidang bangunan yang ditutup di mana tampak antara lain dari jendela-jendela bangunan yang masih dapat berfungsi seperti adanya. Begitu juga di kota Munich, Jerman, wrapping secara penuh dilakukan pada kerangka bangunan. Sedang di Jalan Thamrin, Jakarta, teknologi wrapping belum mendapat perhatian sewajarnya, terlihat antara lain pada wacana yang memanfaatkan kerangka struktur bangunan Westin Hotel dan sosok gedung Chandra yang terlihat terlantar.***
sumber: http://bergerilya.blogspot.com
MEDIA T-SHIRT
Apa Kata Kaos Oblong
Asal katanya adalah “shirt”. Kata imbuhan “T”, konon dikarenakan oleh bentuknya yang menyerupai huruf “T”. Maka jadilah “T-shirt”. Di Indonesia, kata “T-shirt” diterjemahkan menjadi “kaos oblong”. Terjemahan ini pun tidak terlepas dari sejarah perjalanan kaos itu sendiri. Dalam Kamus Indonesia-Inggris Hassan Shadily (1997) menyamakatakan “kaos oblong” dengan kata “kaos dalam”, “singlet”, dan “undershirt”.
Sejarah T-Shirt
Dulu benda ini yang tidak jelas siapa penemunya ini hanya dipakai sebagai pakaian dalam oleh kaum pria. Ketika itu warna dan bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda itu berwarna putih, dan belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar lengan. T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. Pada waktu itu penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski demikian, ada juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan.
Tak pelak, muncullah polemik seputar kaos oblong. Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan kaos oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran. Citra kaos oblong semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut. Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode.
Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekita tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana. Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh orang-orang Belanda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang mahal.
Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970. Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan katun-halus-tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria. Beberapa merek yang terkenal waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan lain-lain. Selanjutnya, tidak hanya di Amerika dan Eropa, di Indonesia pun kaos oblong sudah menjadi media berekspresi. Kaos oblong yang berwarna putih itu diberi gambar vinyet, dan waktu itu sempat menjadi tren/mode di kalangan anak muda Indonesia, tapi tidak lama. Berikutnya vinyet digeser oleh tulisan-tulisan yang berwarna-warni. Tekniknya sepeprti sablon.
Selain itu, ada juga gambar-gambar koboi, orang-orang berambut gondrong, dan lain-lain. Warna bahan kaos oblong pun sudah semarak, yaitu merah, hitam, biru kuning. Dan, tren kaos oblong rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong” (Harian Kompas, 14 Januari 1978).
Oleh : Agustinus Wahyono
sumber : www.kaos-oblong.blogspot.com
(Indra Darmawan)
DESAIN COVER DEPAN MAJALAH
Perencanaan desain sampul majalah sebaiknya digarap secara teliti dan cermat, karena desain cover depan sebuah majalah merupakan display kemasan bagi isi yang disajikan didalamnya. Oleh karena itu, desain cover depan majalah sebaiknya memenuhi kriteria-kriteria berikut ini: 1. Dapat menunjukkan identitas majalah sesuai dengan misi yang telah ditetapkan (it identifies the magazine).
2. Menarik perhatian (it attracts attention).
3. Dapat menimbulkan / menciptakan selera baca dan keinginan untuk memiliki majalah bagi para pembaca / khalayak sasarannya (it creates a suitable mood for the readers).
4. Dapat menjual majalah / membantu meningkatkan angka penjualan (it sells the magazine).
Materi Sampul Depan Majalah Selain elemen-elemen visual dasar yang muncul pada sampul depan sebuah majalah, seperti: Logotype, tanggal terbit, harga, barcode, dan sebagainya. Faktor-faktor atau materi berikut ini sering dipertimbangkan sebagai alternatif pilihan:
1. Foto atau Ilustrasi yang masih berkaitan dengan sebuah berita, tulisan / features atau editorial di dalamnya. (a phothograph or illustration tied to a features inside).
2. Seni Kontemporer, Abstrak, Foto, atau Ilustrasi yang berdiri sendiri (abstract art, a phothograph or illustration that stands by itself).
3. Hanya terdiri dari huruf dan (atau) angka saja. (type and figures only).
4. Permulaan dari sebuah berita, tulisan / features atau editorial yang kemudian dilanjutkan penulisannya ke halaman dalam majalah (the beginning of an article or editorial that continued inside).
5. Sebuah Iklan (an advertisement).
(Allen)
sumber: www.komvis.com
BEDA RGB DAN CMYK
Pada dasarnya printer dan monitor adalah dua perangkat yang berbeda, bahkan basis manajemen warnanya pun berbeda, monitor menggunakan mode RGB (seperti juga mata manusia-red) Sedangkan printer menggunakan CMYK. Yang satu menggunakan proses rasterisasi yang tingkat gradasinya lebih pendek yang satu menggunakan tingkat refleksi yang gradasinya lebih panjang. Coba lihat di Photoshop atau Corel dimana palet warna RGB menggunakan 255 tingkat gradasi sedang CMYK hanya 100 tingkat gradasi, pendek kata ada detail warna yang tidak bisa disimulasikan oleh printer (perangkat berbasis CMYK).
Salah satu cara untuk mengatasi perbedaan dalam konversi warna dari RGB ke CMYK adalah ‘kalibrasi’. Proses kalibrasi warna adalah proses pencocokan warna agar semua perangkat pemroses citra (image) menggunakan satu patokan yang serupa. Untuk itu di aturlah agar warna pada monitor sebagai perangkat yang jangkauan warnanya paling tinggi hanya menampilkan warna yang bisa di hasilkan oleh printer. Jadi nanti sewaktu kita akan mencetak hasilnya akan ‘mirip’ seperti yang kita liat di monitor.
Proses termudahnya tentu saja menggunakan fasilitas yang disediakan oleh aplikasi yang kita gunakan. Misalnya adobe gamma yang disediakan oleh Photoshop dimana monitor akan di kalibrasi sesuai pilihan kita. Meskipun telah di kalibrasi jika kita tetap saja bekerja dengan mode RGB di Photoshop dan aplikasi lainnya tentu saja ada warna-warna tertentu yang tidak akan bisa dicetak hal ini dikenal dengan istilah “out of gamut” bisa di deteksi dengan membuka palet color picker dan men-cek warna di image dengan eyedroper tool, akan ada tanda segitiga dengan tanda seru yang menandakan warna tersebut tidak akan tercetak, dan jika anda mengklik tanda segitiga tersebut pilihan warna akan berubah dan menampilkan warna yang akan di gunakan untuk mencetak.
Jadi jelas bahwa untuk mengetahui hasilnya setiap image yang di gunakan di photoshop dan aplikasi lain perlu di konversi ke CMYK sebelum di cetak. Jika anda merasa bahwa warnanya kurang menarik anda bisa menyesuaikannya lebih dulu dengan berpatokan ke image yang masih dalam mode RGB (ingat beberapa filter photoshop hanya bisa di jalankan di dalam mode RGB!) Sekarang kita kembali ke inti pertanyaan kenapa hasil cetak di percetakkan turun? Sekali lagi proses kalibrasi yang anda lakukan adalah proses kalibrasi di komputer anda bukan di mesin separasi apalagi di mesin offset percetakkan.
Jadi tentu saja resiko warna turun sangat besar bahkan jika pun anda menggunakan Macintosh! Untuk mengatasi ini anda harus mengetahui warna-warna yang bisa di hasilkan oleh percetakkan, biasanya percetakkan yang baik akan dengan senang hati memberikan contoh cetaknya kepada anda berupa gradasi persentasi warna dalam bentuk buku dalam mode CMYK. Gunakan contoh tersebut sebagai panduan untuk mengkalibrasi komputer dan printer di rumah/kantor jadi anda bisa melakukan test print dulu sebelum pergi ke percetakkan. Kalau anda rasa kontrol tersebut kurang kuat anda bisa minta hasil proof dari percetakkan (dengan biaya) untuk melihat akurasi warnanya.
Sekali lagi ingat banyak variabel yang tidak berada dalam kontrol seperti misalnya alat proof yang menggunakan teknologi continus tone (dye sublimation / thermal printer) jelas berbeda dengan mesin cetak yang menggunakan raster half tone! Sekarang persoalan kembali ke medianya, selain mode warna media kertas yang di gunakan juga menentukan. Sebagai contoh hasil cetak dengan inkjet di atas kertas HVS biasa pasti biasa-biasa saja di banding dengan media khusus seperti foto paper atau glossy paper. Mengapa? Karena daya serap kertas terhadap tinta dan kemurnian bahan dasar kertas (pulp) menentukan hasil cetak. Kertas biasa dengan pori-pori besar dan bahan dasar yang tidak pure white (cenderung kuning atau abu-abu) akan menyerap tinta ke dasar kertas dan membuat warna lebih abu-abu ketimbang kertas glossy/art paper yang mampu menahan tinta dengan bahan lapisannya sedang bahan dasarnya yang lebih putih akan mampu memberi tampilan warna lebih cemerlang.
Sementara itu kertas dove memang ditujukan untuk membuat tampilan warna lebih lembut dengan tidak menggunakan lapisan penahan tinta sebanyak art paper, untuk itu agar warna atau bentuk tertentu menonjol digunakan varnish/coating (di percetakkan dikenal dengan UV varnish/coating). Penggunaannya tentu terserah anda.
Tips: Untuk menjamin setiap perangkat (monitor, scanner, printer) menggunakan mode warna yang sama gunakan hanya satu driver ICM (Image Color Matching) anda bisa melihatnya di control panel jika menggunakan windows. Jika pembuat perangkat anda cukup terkenal biasanya mereka menyediakan driver ICM dalam CD yang ada pada saat pembelian. Untuk menjamin proses keakuratan jalankan kalibrasi minimal satu bulan sekali dan selalu meminta contoh cetak terbaru dari percetakkan karena materi cetak akan lekang seiring waktu.
sumber: www.komvis.com
Salah satu cara untuk mengatasi perbedaan dalam konversi warna dari RGB ke CMYK adalah ‘kalibrasi’. Proses kalibrasi warna adalah proses pencocokan warna agar semua perangkat pemroses citra (image) menggunakan satu patokan yang serupa. Untuk itu di aturlah agar warna pada monitor sebagai perangkat yang jangkauan warnanya paling tinggi hanya menampilkan warna yang bisa di hasilkan oleh printer. Jadi nanti sewaktu kita akan mencetak hasilnya akan ‘mirip’ seperti yang kita liat di monitor.
Proses termudahnya tentu saja menggunakan fasilitas yang disediakan oleh aplikasi yang kita gunakan. Misalnya adobe gamma yang disediakan oleh Photoshop dimana monitor akan di kalibrasi sesuai pilihan kita. Meskipun telah di kalibrasi jika kita tetap saja bekerja dengan mode RGB di Photoshop dan aplikasi lainnya tentu saja ada warna-warna tertentu yang tidak akan bisa dicetak hal ini dikenal dengan istilah “out of gamut” bisa di deteksi dengan membuka palet color picker dan men-cek warna di image dengan eyedroper tool, akan ada tanda segitiga dengan tanda seru yang menandakan warna tersebut tidak akan tercetak, dan jika anda mengklik tanda segitiga tersebut pilihan warna akan berubah dan menampilkan warna yang akan di gunakan untuk mencetak.
Jadi jelas bahwa untuk mengetahui hasilnya setiap image yang di gunakan di photoshop dan aplikasi lain perlu di konversi ke CMYK sebelum di cetak. Jika anda merasa bahwa warnanya kurang menarik anda bisa menyesuaikannya lebih dulu dengan berpatokan ke image yang masih dalam mode RGB (ingat beberapa filter photoshop hanya bisa di jalankan di dalam mode RGB!) Sekarang kita kembali ke inti pertanyaan kenapa hasil cetak di percetakkan turun? Sekali lagi proses kalibrasi yang anda lakukan adalah proses kalibrasi di komputer anda bukan di mesin separasi apalagi di mesin offset percetakkan.
Jadi tentu saja resiko warna turun sangat besar bahkan jika pun anda menggunakan Macintosh! Untuk mengatasi ini anda harus mengetahui warna-warna yang bisa di hasilkan oleh percetakkan, biasanya percetakkan yang baik akan dengan senang hati memberikan contoh cetaknya kepada anda berupa gradasi persentasi warna dalam bentuk buku dalam mode CMYK. Gunakan contoh tersebut sebagai panduan untuk mengkalibrasi komputer dan printer di rumah/kantor jadi anda bisa melakukan test print dulu sebelum pergi ke percetakkan. Kalau anda rasa kontrol tersebut kurang kuat anda bisa minta hasil proof dari percetakkan (dengan biaya) untuk melihat akurasi warnanya.
Sekali lagi ingat banyak variabel yang tidak berada dalam kontrol seperti misalnya alat proof yang menggunakan teknologi continus tone (dye sublimation / thermal printer) jelas berbeda dengan mesin cetak yang menggunakan raster half tone! Sekarang persoalan kembali ke medianya, selain mode warna media kertas yang di gunakan juga menentukan. Sebagai contoh hasil cetak dengan inkjet di atas kertas HVS biasa pasti biasa-biasa saja di banding dengan media khusus seperti foto paper atau glossy paper. Mengapa? Karena daya serap kertas terhadap tinta dan kemurnian bahan dasar kertas (pulp) menentukan hasil cetak. Kertas biasa dengan pori-pori besar dan bahan dasar yang tidak pure white (cenderung kuning atau abu-abu) akan menyerap tinta ke dasar kertas dan membuat warna lebih abu-abu ketimbang kertas glossy/art paper yang mampu menahan tinta dengan bahan lapisannya sedang bahan dasarnya yang lebih putih akan mampu memberi tampilan warna lebih cemerlang.
Sementara itu kertas dove memang ditujukan untuk membuat tampilan warna lebih lembut dengan tidak menggunakan lapisan penahan tinta sebanyak art paper, untuk itu agar warna atau bentuk tertentu menonjol digunakan varnish/coating (di percetakkan dikenal dengan UV varnish/coating). Penggunaannya tentu terserah anda.
Tips: Untuk menjamin setiap perangkat (monitor, scanner, printer) menggunakan mode warna yang sama gunakan hanya satu driver ICM (Image Color Matching) anda bisa melihatnya di control panel jika menggunakan windows. Jika pembuat perangkat anda cukup terkenal biasanya mereka menyediakan driver ICM dalam CD yang ada pada saat pembelian. Untuk menjamin proses keakuratan jalankan kalibrasi minimal satu bulan sekali dan selalu meminta contoh cetak terbaru dari percetakkan karena materi cetak akan lekang seiring waktu.
sumber: www.komvis.com
STANDAR HARGA SEPARASI WARNA
1. FILM (CMYK-4 lembar, harga per cm2)
a. Resolusi 1200 dpi (45 s/d 120 lpi) Rp. 100
b. Resolusi 1800 dpi (75 s/d 150 lpi) Rp. 135
c. Resolusi 2400 dpi (85 s/d 200 lpi) Rp. 175
d. Resolusi 3600 dpi (133 s/d 425 lpi) Rp. 225
2. DRUM SCAN (300 dpi)
a. 0-150 cm2 Rp. 35.000
b. 151-300 cm2 Rp. 63.000
c. 301-500 cm2 Rp. 94.000
d. 501-800 cm2 Rp. 131.000
e. 801-1200 cm2 Rp. 177.000
f. 1201-2000 cm2 Rp. 258.000
g. 2001-3000 cm2 Rp. 362.000
h. 3001-5000 cm2 Rp. 600.000
3. OFFSET PROOF
a. CMYK Rp. 200/cm2, minimum Rp. 65.000
b. Warna Khusus Rp. 250.000/plate
c. Tambah kertas Rp. 10/cm/lembar, minimum Rp. 6.000/lembar
4. PRINT COLOR (uk. A4)
a. HVS Rp. 25.000
b. Coated Paper Rp. 30.000
c. Glossy Paper Rp. 40.000
(info)
sumber: www.komvis.com
a. Resolusi 1200 dpi (45 s/d 120 lpi) Rp. 100
b. Resolusi 1800 dpi (75 s/d 150 lpi) Rp. 135
c. Resolusi 2400 dpi (85 s/d 200 lpi) Rp. 175
d. Resolusi 3600 dpi (133 s/d 425 lpi) Rp. 225
2. DRUM SCAN (300 dpi)
a. 0-150 cm2 Rp. 35.000
b. 151-300 cm2 Rp. 63.000
c. 301-500 cm2 Rp. 94.000
d. 501-800 cm2 Rp. 131.000
e. 801-1200 cm2 Rp. 177.000
f. 1201-2000 cm2 Rp. 258.000
g. 2001-3000 cm2 Rp. 362.000
h. 3001-5000 cm2 Rp. 600.000
3. OFFSET PROOF
a. CMYK Rp. 200/cm2, minimum Rp. 65.000
b. Warna Khusus Rp. 250.000/plate
c. Tambah kertas Rp. 10/cm/lembar, minimum Rp. 6.000/lembar
4. PRINT COLOR (uk. A4)
a. HVS Rp. 25.000
b. Coated Paper Rp. 30.000
c. Glossy Paper Rp. 40.000
(info)
sumber: www.komvis.com
BAHAN-BAHAN PROMOSI (POS materials)
Bahan-bahan promosi atau biasa disebut Point of Sale Materials (POS materials) mempunyai bentuk-bentuk yang beragam, diantaranya:
1. LEAFLET (selebaran)
Lembaran kertas cetak yang dilipat menjadi dua halaman atau lebih.
2. FOLDER
Lembaran bahan cetakan yang dilipat menjadi dua seperti map atau buku agar mudah dibawa. Atau bisa juga dilipat dengan gaya concertina sehingga membentuk beberapa halaman terpisah tanpa perlu dipotong. Alasan perlunya folder agar mudah dimasukkan ke dalam amplop untuk diposkan atau dimasukkan ke dalam saku.
3. BROSUR (booklet)
Bahan cetakan yang terdiri dari beberapa halaman yang dijilid sehingga menyerupai buku.
4. KATALOG
Sejenis brosur yang berisi rincian jenis produk/layanan usaha dan kadang-kadang dilengkapi dengan gambar-gambar. Ukurannya bermacam-macam mulai dari sebesar saku sampai sebesar buku telepon, tergantung keperluan bisnisnya.
5. KARTU POS
Publisitas yang bermanfaat, bisa didapat dengan menghadiahkan kepada para pelanggan/konsumen dalam bentuk kartupos (post card) yang menarik. Hal ini sudah umum dilakukan oleh managemen hotel, maskapai penerbangan, dan cafe-cafe. Biasanya konsumen menyukainya dan bahkan banyak yang mengkoleksinya.
6. ALAT TULIS MENULIS
Amplop, kop surat, ballpoint, yang ditempatkan di kamar hotel, yang berfungsi bukan hanya sebagai service dari hotel tersebut tetapi termasuk POS materials, karena terdapat nama produk atau jasa lengkap dengan alamat dan nomor telepon.
7. SISIPAN (STUFLER)
Leaflet yang disisipkan atau ditempatkan di dalam kotak kemasan suatu produk, yang biasanya berupa penjelasan penggunaan produk tersebut, atau produk-produk lain yang diproduksi oleh perusahaan yang sama.
8. HANGING MOBILE
Sebuah alat pajangan yang bergerak apabila terkena angin, penempatannya dengan cara digantung. Biasanya berupa gambar dari produk tersebut atau identitas lain tentang produk tersebut. Bisa dalam bentuk 2 dimensi atau 3 dimensi.
9. WOBLER
Merupakan alat pajangan yang cara penempatannya ditempel dinding atau di rak penjualan dengan menggunakan plastik mica atau bahan sejenis, sehingga gambar menjadi lentur dan bergerak. Biasanya dalam bentuk 2 dimensi.
10. SELF TALKER
Media cetak yang mempromosikan suatu produk dengan cara penempatan langsung di rak tempat produk tersebut berada.
11. FLAG CHAIN
Rangkaian bendera kecil dengan menampilkan gambar produk, merek, slogan, atau gabungan dari semua itu. Bahan yang digunakan bisa dari kertas, plastik, PVC, atau bahan yang sejenis.
12. POSTER
Poster bergambar dan full color biasanya dipakai sebagai dekorasi ruangan untuk ditempel di dinding, pintu, jendela toko, atau dinding ruang pamer.
13. STICKER
Merupakan bahan promosi yang paling banyak dan sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk mempromosikan produknya, karena sifatnya yang sangat fleksibel. Bisa ditempel dimana saja. Dan kadang-kadang sticker mempunyai nilai kebanggaan tersendiri bagi si pemasangnya (konsumen).
14. KOTAK DISPENSER
Mempunyai kaitan dengan leaflet atau brosur, karena dipakai sebagai tempat barang-barang tersebut. Biasanya terbuat dari acrylic, straw board, atau kayu triplek. Bisa juga untuk produk-produk dengan kemasan yang praktis, seperti rokok, permen, dll.
15. MODEL
Model disini lebih cenderung berfungsi sebagai hiasan atau pajangan dan biasanya dalam bentuk miniatur. Biasa digunakan oleh biro-biro perjalanan atau perusahaan penerbangan, misalnya model pesawat terbang atau kapal laut dalam bentuk mini.
16. BENTUK LAINNYA
Jam, asbak, korek, gantungan kunci, kalender, T-Shirt, topi, Payung, dll. (info)
sumber: www.komvis.com
JENIS LAY OUT IKLAN CETAK
1. MONDRIAN LAY OUT
Mengacu pada konsep seorang pelukis Belanda bernama Piet Mondrian, yaitu: penyajian iklan yang mengacu pada bentuk-bentuk square/landscape/portait, dimana masing-masing bidangnya sejajar dengan bidang penyajian dan memuat gambar/copy yang saling berpadu sehingga membentuk suatu komposisi yang konseptual.
2. MULTI PANEL LAY OUT
Bentuk iklan dimana dalam satu bidang penyajian dibagi menjadi beberapa tema visual dalam bentuk yang sama (square/double square semuanya).
3. PICTURE WINDOW LAY OUT
Tata letak iklan dimana produk yang diiklankan ditampilkan secara close up. Bisa dalam bentuk produknya itu sendiri atau juga bisa menggunakan model (public figure)
4. COPY HEAVY LAY OUT
Tata letaknya mengutamakan pada bentuk copy writing (naskah iklan) atau dengan kata lain komposisi lay out nya didominasi oleh penyajian teks (copy)
5. FRAME LAY OUT
Suatu tampilan iklan dimana border/bingkai/frame nya membentuk suatu naratif (mempunyai cerita)
6. SHILHOUTTE LAY OUT
Sajian iklan yang berupa gambar ilustrasi atau tehnik fotografi dimana hanya ditonjolkan bayangannya saja. Penyajian bisa berupa Text-Rap/warna spot color yang berbentuk gambar ilustrasi atau pantulan sinar seadanya dengan tehnik fotografi.
7. TYPE SPECIMEN LAY OUT
Tata letak iklan yang hanya menekankan pada penampilan jenis huruf dengan point size yang besar. Pada umumnya hanya berupa Head Line saja.
8. SIRCUS LAY OUT
Penyajian iklan yang tata letaknya tidak mengacu pada ketentuan baku. Komposisi gambar visualnya, bahkan kadang-kadang teks dan susunannya tidak beraturan.
9. JUMBLE LAY OUT
Penyajian iklan yang merupakan kebalikan dari sircus lay out, yaitu komposisi beberapa gambar dan teksnya disusun secara teratur.
10. GRID LAY OUT
Suatu tata letak iklan yang mengacu pada konsep grid, yaitu desain iklan tersebut seolah-olah bagian per bagian (gambar atau teks) berada di dalam skala grid.
11. BLEED LAY OUT
Sajian iklan dimana sekeliling bidang menggunakan frame (seolah-olah belum dipotong pinggirnya). Catatan: Bleed artinya belum dipotong menurut pas cruis (utuh) kalau Trim sudah dipotong.
12. VERTICAL PANEL LAY OUT
Tata letaknya menghadirkan garis pemisah secara vertical dan membagi lay out iklan tersebut.
13. ALPHABET INSPIRED LAY OUT
Tata letak iklan yang menekankan pada susunan huruf atau angka yang berurutan atau membentuk suatu kata dan diimprovisasikan sehingga menimbulkan kesan narasi (cerita).
14. ANGULAR LAY OUT
Penyajian iklan dengan susunan elemen visualnya membentuk sudut kemiringan, biasanya membentuk sudut antara 40-70 derajat.
15. INFORMAL BALANCE LAY OUT
Tata letak iklan yang tampilan elemen visualnya merupakan suatu perbandingan yang tidak seimbang.
16. BRACE LAY OUT
Unsur-unsur dalam tata letak iklan membentuk letter L (L-Shape). Posisi bentuk L nya bisa tebalik, dan dimuka bentuk L tersebut dibiarkan kosong.
17. TWO MORTISES LAY OUT
Penyajian bentuk iklan yang penggarapannya menghadirkan dua inset yang masing-masing memvisualkan secara diskriptif mengenai hasil penggunaan/detail dari produk yang ditawarkan.
18. QUADRAN LAY OUT
Bentuk tampilan iklan yang gambarnya dibagi menjadi empat bagian dengan volume/isi yang berbeda. Misalnya kotak pertama 45%, kedua 5%, ketiga 12%, dan keempat 38%. (mempunyai perbedaan yang menyolok apabila dibagi empat sama besar).
19. COMIC STRIPS LAY OUT
Penyajian iklan yang dirancang secara kreatif sehingga merupakan bentuk media komik, lengkap dengan captions nya.
20. REBUS LAY OUT
Susunan lay out iklan yang menampilkan perpaduan gambar dan teks sehingga membentuk suatu cerita.(info)
sumber: www.komvis.com
Tuesday, October 04, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)