Thursday, September 29, 2005

ZINE: MEDIA ALTERNATIF


Saat awal tahun 1997-an di Indonesia, gaya hidup yang merebak saat itu adalah gaya underground yang secepat kilat menjadi acuan mode dan musik di kalangan anak muda. Punk adalah acuan musik yang saat itu berkembang.Greenday menjadi populer sebagai semangat ber-underground sebagai bagian dari counter culture/budaya perlawanan.

Tipe underground yang mencolok adalah antikemapanan, menentang mainstream/media yang besar dan terkenal, antisosial, keluar dari batas dan antitren.
Karena tipe di atas tadi, maka untuk menunjukkan jati dirinya secara benar tanpa di’plintir-plintir’ oleh pers yang mainstream, maka mereka membuat media sendiri yang biasanya dikerjakan secara independent atau istilahnya adalah D.I.Y (Do It Yourself).
Media inilah yang kemudian disebut sebagai media indie/media perlawanan dari pengaruh mainstream. Bahasa musiknya adalah indie label.

Media indie awalnya dikenal sebagai zine.
Zine dapat disebut sebagai versi lain magazine atau bentuk lebih sederhana dari magazine. Sering juga disebut fanzine atau zine yang dibuat oleh fan/penggemar/simpatisan.
Apa itu fanzine? Misalnya ada seseorang yang menyukai tentang jam jam antik, maka dia bisa membuat fanzine tentang jam antik, dengan dia sendiri menjadi editornya. Dalam hal ini seorang yang terinspirasi oleh pola dan gaya hidup underground maka dia akan membuat fanzine underground.

Fanzine underground bisanya berisikan artikel dalam bentuk kritik/malah terkadang tulisan serangan terhadap kebijakan pemerintah, budaya konsumerisme, kapitalisme, penindasan, lingkungan hidup, diskriminasi dan juga berisi info, interview dan review band dari kalangan underground yang dianggap oleh editornya menarik. Kadang juga ditambah dengan info info dari hobi mereka, tapi rata rata tetap dari sudut pandang counter-culture. Jika ia berbicara tentang komputer, maka ia menulis tentang teknik hack, jika ia membuat komik maka cerita cerita atau gambar yang dibuat tidak akan sama dengan yang muncul di komik-komik terbitan penerbit besar, sebagian besar berisi kritik sosial.

Zine mempunyai ciri-ciri, antara lain:
- Tidak mempunyai kantor redaksi, artinya mereka bisa beredaksi dimanapun mereka mau.
- Tidak ada tenggat waktu/deadline
- Karena dibuat dengan sistem DIY, maka jumlah eksemplarnya bergantung pada ‘isi saku’ dari redaksi/editor.
- Isi zine sangat sempit. Ada yang tentang melulu politik, anti-pemerintah, budaya, personal, lingkungan hidup, dll.
- Tidak ada batasan tentang bagaimana menulis yang baik dan benar. Semua ‘terasa’ sah-sah saja, bahkan pernah ditemui umpatan-umpatan jorok pun terasa manis didengar..J
- Biasanya lahir dari sebuah komunitas meskipun ada juga yang dilahirkan dengan mandiri.
- Biasanya anti-copyright/anti hakcipta, artinya pembaca boleh menggandakan seberapa dia mau.

Kategori zine menurut isinya, dibagi menjadi:
1. Zine yang seluruh isinya dibuat atau ditulis sendiri oleh editor atau sebelumnya belum pernah dipublikasikan di media lain.
2. Zine yang sebagian isinya dibuat sendiri dan sebagian lagi hasil mengambil artikel dari sumber lain yang sudah ada sebelumnya.
3. Zine yang seluruh isinya hasil dari mengumpulkan dari sumber lain.

Kategori zine menurut kemasannya, dibagi menjadi:
1. Zine dengan format fotokopian. Bentuk yang paling banyak dijumpai. Bentuk ini memperbanyak eksemplar melalui foto kopi.
2. Zine dengan format stensilan. Zine ini dicetak mengggunakan alat cetak yang bernama stensil, biasanya sampul dibuat berwarna, tetapi halaman isi distensil hitam putih.
3. Zine dengan format full-colour. Bentuk yang paling bergaya, biasanya memakai kertas yang bagus dan kualitas cetak offset yang tinggi.

Tentang Foto Kopi
Karena biasanya pembuat zine berpendapat bahwa informasi itu harusnya gratis disebarluaskan maka mereka tidak pernah dipusingkan oleh copyright, dan dengan sukarela membagi tulisannya dengan zine lainnya, bahkan merelakan zine mereka digandakan lagi oleh pihak lain tanpa meminta balas jasa materi.
Tapi biasanya juga mereka beretika dengan menuliskan sumber sumber tulisan tersebut. Dan jarang sekali mereka mengambil tulisan dari media media mainstream yang memberi copyright pada tulisan tulisan mereka. Dan zine- zine yang sudah menjadi lebih besar dan bahkan bisa menembus pasaran (seperti ripple contohnya) akan membentuk tim penulis sendiri, beberapa zine yang terhitung kecil juga ternyata memiliki tim editorial sendiri dan tidak membuat zine sendirian.

Di Indonesia sendiri fenomena zine ini juga cukup berkembang pesat sejak beberapa tahun terakhir, bahkan beberapa kali menjadi topik artikel di media media mainstream yang. Tapi sayangnya perkembangan pesat itu seakan hanya meledak sebentar dan hilang. Jika tahun-tahun dulu ditemukan dalam sebulan ada 5-10 judul zine, maka pada tahun ini merosot tajam, paling-paling 2 judul zine sudah bagus. Hal ini sangat disayangkan karena dapat menjadi indikasi bahwa budaya menulis dan membaca kembali surut. Yang mungkin juga diakibatkan tidak lancarnya regenerasi para editor editor zine sebelumnya.

Diluar konteks zine sebagai media propaganda, keberadaan zine-zine ini juga sangat berguna sebagai penanda bahwa budaya menulis dan berargumentasi bertumbuh dan berkembang secara positif dikalangan underground, yang juga menunjukkan bahwa sebenarnya mereka termasuk golongan yang terpelajar-baik melalui insitusi resmi sekolahan ataupun belajar secara otodidak. Jadi mereka para pembuat zine termasuk berjasa dalam berusaha meningkatkan budaya baca tulis bangsa ini secara umum dan anak anak muda yang berada dalam kalangan underground pada khusunya. Sehingga sangatlah disayangkan jika jumlah pembuat zine ini menurun pada waktu waktu belakangan ini.

(dari berbagai sumber)


No comments: